Tuesday, June 14, 2016

Fokus Pada Kelebihan Bukan Sebaliknya.



Hari itu, pembagian raport kenaikan kelas di  SD. Tugas mama yang mengambil raport saya dan abang. Mama bukan ibu yang ekspresif. Dia memiliki ekspresif datar. Bagus atau jelek raport kami, mama tetap memiliki ekspresi yang sama. Datar dengan senyumnya yang menenangkan dan cantik. Seperti biasa, mama akan mengambil raport abang saya dulu. Raportnya  bak taman indah yang semerbak. Juara umum pun terasa mudah diraihnya. Setelah itu, giliran mengambil raport saya. Seperti sudah diduga, raport saya jauh di bawah abang. Mungkin jika itu terjadi sama Ghea, saya bisa stres.


 Tapi yang selalu membuat saya kagum adalah ekspresi mama yang sama saat menerima raport abang dan raport saya. Tidak ada bahagia berlebihan dan tidak ada kecewa berlebihan juga. Tetap datar dan tersenyum. Seperti tidak ada kejadian apa-apa.

Reaksi papa sedikit berbeda. Papa lebih ekspresif. Tapi tetap reaksinya sama pada kami berdua. Papa akan memancarkan kebahagiaan dan kebanggaan yang sama pada kami. Reaksi mereka membentuk karakter kami hingga sekarang.

Abang saya tidak merasa jumawa karena menjadi juara umum. Saya pun tidak merasa minder karena nilai saya yang aduhai itu. Abang tidak merasa pintar dan saya tidak merasa bodoh. Kami menganggap nilai-nilai itu tidak pernah menggambarkan seperti apa diri kami sebenarnya. Nilai itu hanya deretan angka akademis yang tidak menjadi penentu mutlak masa depan kami. Begitulah saya dibesarkan.

Orang tua saya mendidik kami sesuai dengan karakter dan minat. Mereka tahu titik lemah saya. Matematika. Sementara titik kekuatan saya adalah bahasa dan seni. Abang saya sebaliknya. Cara belajar kami berbeda. Mereka pun maklum. Tidak pernah marah melihat saya harus belajar dengan musik keras. Tidak protes jika buku saya penuh dengan cerita pendek ketimbang rangkuman pelajaran. Tidak juga memberi hukuman ketika nilai pelajaran eksak saya terjun bebas tapi nilai lain gemilang. Mereka mengerti. Dua anaknya berbeda dan unik.   

Saat papa mengajari abang saya matematika, teknologi, komputer dan semua yang abang saya suka. Papa lebih sering mengajak saya diskusi tentang buku-buku, tentang rahasia alam semesta, tentang Tuhan, tentang filsafat, tentang kehidupan. Dia mengajarkan saya melihat sebuah film dari sudut pandang lain. “Seorang penulis harus melihat film ini dari berbagai sudut, de. Perhatikan karakternya, perhatikan detilnya, catat jika ada percakapan yang menarik.” Begitu papa bilang.

Begitulah orang tua saya. Nggak lebay dengan nilai tinggi di sekolah. Tidak marah karena tidak juara. Lewat senyum mereka berdua, kami tahu, mereka bangga pada kami. Itu menjadi tekad saya untuk membanggakan mereka begitu menggebu-gebu. Sebagai rasa terima kasih.

Ghea, anak saya. Mirip dengan saya. Dominan otak kanan. Lemah di eksak, kuat di dunia kreatif. Saat UN lalu, saya melakukan kesalahan. Saya fokus dengan kelemahannya dan lupa bahwa dia kuat di 3 bidang pelajaran lain. Hingga detik-detik terakhir UN, dia hanya belajar matematika. Hasilnya? Matematika bagus. Tiga bidang lain yang diharapkan lebih tinggi, ternyata tidak.  

Saya sadar Ghea unik. Tapi sayangnya, saya tenggelam dalam standard pendidikan Indonesia yang sering meng-anak-tirikan anak otak kanan. Sehingga saya lupa untuk menyuruh dia fokus pada kekuatannya bukan pada kelemahannya.

Ah, seharusnya ada UN bidang kreatif. Sehingga anak-anak dengan kekuatan di situ bisa memaksimalkan kemampuannya. Karena pada akhirnya, saat dewasa nanti, mereka akan menggunakan kekuatan diri untuk berhasil dan sukses.



2 comments:

  1. Iya untuk pendidikan sekarang di Indonesia standar nya memang seringkali membuat orang tua bingung....inspiratif ceritanya mba

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak. Terlalu fokus dengan nilai akademis. Thanks ya mbak :)

      Delete

 

Adenita Yusminovita's Blog Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang