Hari itu, pembagian raport kenaikan kelas di SD. Tugas mama yang mengambil raport saya dan
abang. Mama bukan ibu yang ekspresif. Dia memiliki ekspresif datar. Bagus atau
jelek raport kami, mama tetap memiliki ekspresi yang sama. Datar dengan
senyumnya yang menenangkan dan cantik. Seperti biasa, mama akan mengambil raport abang
saya dulu. Raportnya bak taman indah yang
semerbak. Juara umum pun terasa mudah diraihnya. Setelah itu, giliran mengambil raport saya. Seperti sudah diduga, raport saya jauh di bawah abang. Mungkin jika itu terjadi sama Ghea, saya bisa stres.
Reaksi papa sedikit berbeda.
Papa lebih ekspresif. Tapi tetap reaksinya sama pada kami berdua. Papa akan
memancarkan kebahagiaan dan kebanggaan yang sama pada kami. Reaksi mereka membentuk
karakter kami hingga sekarang.
Abang saya tidak merasa jumawa karena menjadi juara umum. Saya pun
tidak merasa minder karena nilai saya yang aduhai itu. Abang tidak merasa
pintar dan saya tidak merasa bodoh. Kami menganggap nilai-nilai itu tidak
pernah menggambarkan seperti apa diri kami sebenarnya. Nilai itu hanya deretan
angka akademis yang tidak menjadi penentu mutlak masa depan kami. Begitulah
saya dibesarkan.
Orang tua saya mendidik kami sesuai dengan karakter dan minat. Mereka
tahu titik lemah saya. Matematika. Sementara titik kekuatan saya adalah bahasa
dan seni. Abang saya sebaliknya. Cara belajar kami berbeda. Mereka pun maklum.
Tidak pernah marah melihat saya harus belajar dengan musik keras. Tidak protes
jika buku saya penuh dengan cerita pendek ketimbang rangkuman pelajaran. Tidak
juga memberi hukuman ketika nilai pelajaran eksak saya terjun bebas tapi nilai
lain gemilang. Mereka mengerti. Dua anaknya berbeda dan unik.
Saat papa mengajari abang saya matematika, teknologi, komputer dan
semua yang abang saya suka. Papa lebih sering mengajak saya diskusi tentang
buku-buku, tentang rahasia alam semesta, tentang Tuhan, tentang filsafat,
tentang kehidupan. Dia mengajarkan saya melihat sebuah film dari sudut pandang
lain. “Seorang penulis harus melihat film ini dari berbagai sudut, de.
Perhatikan karakternya, perhatikan detilnya, catat jika ada percakapan yang
menarik.” Begitu papa bilang.
Begitulah orang tua saya. Nggak lebay dengan nilai tinggi di sekolah. Tidak
marah karena tidak juara. Lewat senyum mereka berdua, kami tahu, mereka bangga
pada kami. Itu menjadi tekad saya untuk membanggakan mereka begitu
menggebu-gebu. Sebagai rasa terima kasih.
Ghea, anak saya. Mirip dengan saya. Dominan otak kanan. Lemah di eksak,
kuat di dunia kreatif. Saat UN lalu, saya melakukan kesalahan. Saya fokus
dengan kelemahannya dan lupa bahwa dia kuat di 3 bidang pelajaran lain. Hingga
detik-detik terakhir UN, dia hanya belajar matematika. Hasilnya? Matematika
bagus. Tiga bidang lain yang diharapkan lebih tinggi, ternyata tidak.
Saya sadar Ghea unik. Tapi sayangnya, saya tenggelam dalam standard
pendidikan Indonesia yang sering meng-anak-tirikan anak otak kanan. Sehingga
saya lupa untuk menyuruh dia fokus pada kekuatannya bukan pada kelemahannya.
Ah, seharusnya ada UN bidang kreatif. Sehingga anak-anak dengan
kekuatan di situ bisa memaksimalkan kemampuannya. Karena pada akhirnya, saat
dewasa nanti, mereka akan menggunakan kekuatan diri untuk berhasil dan sukses.
Iya untuk pendidikan sekarang di Indonesia standar nya memang seringkali membuat orang tua bingung....inspiratif ceritanya mba
ReplyDeleteBetul mbak. Terlalu fokus dengan nilai akademis. Thanks ya mbak :)
Delete