Dimuat di Tabloid Nova Maret 2015
“Kursi
ini memang empuk ya. Aku bisa ketiduran jika berbaring.” Abang mengelus-elus kursi merah milik mama.
Lalu, berbaring dan memejamkan mata. Kursi panjang yang terbuat dari kayu jati
dengan balutan kain warna merah hati. Kursi yang dibeli beberapa tahun silam.
Dibeli tanpa rencana sebelumnya. Mama
lagi jalan ke toko furniture dan langsung jatuh cinta dengan kursi ini.
“Aku hampir tidak pernah duduk di kursi ini. Apalagi
setelah pindah rumah,” katanya lagi dengan mata masih terpejam.
“Memang
cuma mama yang boleh duduk di kursi itu,” kataku sambil menahan geli. Pikiranku
menerawang jauh ke hari pertama mama membeli kursi merah itu. Tentu saja dengan
kehebohannya.
Ya,
siapa yang tidak ingat hari itu? Hari
saat mama menyuruh kami untuk menggeser-geser furniture lain di ruang keluarga.
Agar kursi merah bisa ditempatkan sesuai keinginannya. Mama ingin ditata malam itu juga. Padahal kami baru pulang
kuliah. Sejak hari itu, kursi itu selalu
berada di situ. Tidak pernah berpindah tempat.
Biasanya
pagi hari setelah subuh, mama akan baring di situ. Menonton ceramah di televisi
sampai terkantuk-kantuk. Teh hangat mengepul di meja kecil di sampingnya.
Cemilan kentang goreng lengkap dengan sausnya pun sudah tersedia. Sementara
mama menonton, papa berada di ruang kerjanya. Berkutat dengan naskah buku
matematika yang sudah bertahun-tahun ia kerjakan.
Kursi
merah yang setia menemani mama dan menjai sebuah singgasana kecil di rumah
kami. Kursi panjang dengan sanderan kepala yang tinggi dan empuk di ujungnya.
Kursi yang dirancang khusus agar penikmat kursi bukan sekedar duduk tapi juga
berbaring. Kami menyebutnya kursi Cleopatra. Dan, mama adalah sang Cleopatra
pemilik singgasana.
Tidak
ada satu pun dari kami, anak-anak, menantu dan cucu bahkah papa sekalipun yang
berani untuk duduk di kursi itu jika mama ada di rumah. Jika tidak ada pun,
kami begitu berhati-hati agar tidak mengotorinya. Apalagi merubah posisi
bantal. Posisi yang sudah diatur sedemikian rupa agar pas di kepala dan
punggung mama. Perubahan sekecil apapun akan mama rasakan dan itu akan
membuatnya sebal. Sebab ia harus mengaturnya kembali.
“Ada
yang duduk di kursi mama tadi?” tanya mama dengan nada kesal. Seolah ada yang
merusak harinya hanya karena posisi bantal berubah.
“Aku.”
Mama
mendengus kesal.
“Jadi
tidak enak nih posisinya,” keluh mama lagi.
“Iya,
maaf. Kan tinggal digeser aja.”
Sejak
itu, aku tidak mau lagi duduk di situ. Apalagi berbaring dan merubah posisi
bantal. Ini tidak termasuk makan di kursi itu, ya. Remah makanan sekecil apapun
akan mengundang semut berkerumun. Jika itu terjadi, bersiaplah mendengar mama
mengomel. Ia harus membersihkan kursi terlebih dahulu lalu memeriksa apakah
masih ada semut yang tertinggal. Repot memang.
Mama
memang ratu di rumah. Ia adalah sumber cinta dan sumber kebahagiaan rumah kami. Papa bilang,
jika mama bahagia maka rumah ini pun menjadi bahagia. Papa yang begitu memuja
mama meminta kami untuk menjaga hati
mama yang lembut dan mudah rapuh.
“Kalau
kalian ingin bahagia, bahagiakan mama,”kata papa yang membuat mama tersipu malu
mendengarnya.
Bertahun-tahun
rutinitas pagi itu berlangsung. Hingga kerut wajah sendu terpancar di wajahnya.
Ia belum terlalu tua waktu itu. Masih 50-an. Tubuhnya semakin kurus dan sering
merasa lemas serta ngantuk. Aku pikir usia yang menyebabkan itu tapi ternyata
mama terkena diabetes.
“Gula
darah mama tinggi,” kata mama sambil membawa selembar kertas hasil cek darah di
lab. Mama tidak pernah cek darah sepanjang hidupnya. Jika bukan karena
diwajibkan periksa darah sebelum berangkat haji, mungkin tidak akan pernah tahu
kalau mama kena diabetes. Itulah pengalaman pertama sekaligus yang tidak
terlupakan. Itu terjadi sekitar 12 tahun silam. Sebelum ia pergi selamanya.
Pada
lembaran putih itu tertulis angka 400 ml/g pada kolom gula darah dengan
huruf bewarna merah. Artinya sudah melewati batas kadar gula darah normal yaitu 70-150 ml/g.
Sejak hari itu, semua yang berhubungan makanan dan minuman manis dihilangkan
dari rumah. Aku pun ikut ‘puasa’ makan dan minum yang manis.
Tidak
hanya makanan manis yang dikurangi. Ada obat rutin yang harus diminum setiap
hari. Mama juga semangat mencoba ramuan-ramuan herbal. Dari mulai rebusan air
godokan, rebusan daun sirsak, atau rebusan daun salam. Pokoknya semua yang
rasanya pahit mama minum. Jika sudah bosan, ia akan menyesap teh manis. Satu
teguk saja. Sebagai pengobat rindu pada rasa manis.
Nasi
pun sempat diganti dengan nasi merah walau akhirnya kembali ke nasi putih. Papa bahkan membeli alat pengecek gula darah
sendiri agar kadar gula mama dapat dikontrol setiap hari. Mama adalah pejuang
diabetes. Dia mampu bertahan menjaga kadar gulanya selama belasan tahun. Tapi
kekuatan manusia selalu ada batasnya, bukan? Setelah 12 tahun, daya tahan dan
juangnya pun menurun seiring usia yang bertambah. Kursi ini menyaksikan semua
transformasi perubahan mama.
“Bawa
saja ke rumahmu. Belum ada kursi seperti itu kan di sana?” tawarku pada abang. “Kebanyakan
furniture. Pengap jadinya. Kursi sofa yang di depan mau dibawa Bude Nik. Dua
lemari besar di ruang tamu juga bawa saja kalau mau.”
Terlalu
banyak kursi sofa di rumah ini. Rumah kami tidak besar tapi mama senang dengan
furniture besar. Ada dua lemari besar di ruang tamu, kursi tamu besar dari kayu
jati, kursi merah mama dan sofa di ruang keluarga belum lagi meja makan di
ruang belakang. Aku juga membawa beberapa furniture dari rumah baruku. Rumah
yang belum sempat aku tinggali.
“Kamu
seperti mau membuang semua kenangan mama di rumah ini.” Abang bangkit dari
baringnya dan duduk merenung. Entahlah apa yang dipikirkannya. Tapi aku yang
tinggal di sini dan semua benda di rumah ini mengingatkanku pada mama. Bahkan
pot bunga rusak di halaman pun mengingatkanku pada mama. Menyedihkan dan
menyakitkan.
“Bukan
itu, aku hanya tidak senang terlalu banyak barang.” Alasan itu benar tapi aku
hanya ingin mengurangi beban ‘sakit’ kehilangannya.
Abang
menghela nafas panjang.
“Sudah
dua minggu mama pergi. Baunya masih ada di kursi ini.” Abang menyesap kenangan
mama di kursi itu. Membiarkan aroma kenangan menyelesak masuk ke dalam pikiran
dan tubuhnya. “Kursi ini tempatnya ya di rumah ini, bukan di rumahku. Jadi
biarkan saja di sini,” lanjutnya dengan mata berair. Ia pun berdiri dan pergi
bergabung dengan para sepupu di teras. Hari ini ada acara 40 harian mama di
rumah.
Giliran
aku yang duduk di kursi itu. Aku menghela nafas panjang. Menyapu pandangan ke
semua sudut di rumah ini. Kursi ini memiliki cerita sendiri. Kursi ini berbeda
dengan furniture lain di rumah ini.Ia menjadi saksi bisu atas banyak sekali
perisitwa. Mulai dari mama yang masih sehat dan bugar tertidur di situ. Hingga
mama yang tidak berdaya.
Saat
itu, mama semakin jarang berativitas. Sering mengeluh kakinya sakit dan lemas.
Ia juga sering bilang merasa cepat ngantuk. Kaki mama pun melemah. Merambat
dari ujung kaki hingga akhirnya ia benar-benar tidak dapat menggerakkan semua
anggota tubuhnya.
Aku
menyalahkan diabetes atas semua perubahan itu. Padahal mama selalu
aktif bergerak. Setiap pagi ada saja yang harus ia kerjakan. Ia juga aktif di
lingkungan rumah bersama ibu-ibu. Semua itu tidak lagi bisa ia lakukan. Dan, ia
menjadi frustasi dan cepat marah.
Diabetes memang seperti benalu yang menetap di
tubuh penderita tanpa berniat untuk keluar. Penyakit yang tidak bisa
disembuhkan. Obat apapun hanya bisa men-stabilkan kadarnya bukan
menghilangkannya. Kasihan mama.
Kami
seperti penonton bagaimana kondisi mama semakin turun setiap hari. Apalagi
setelah terkena stroke ringan karena kadar gula tiba-tiba turun drastis. Mama
sempat tidak sadarkan diri dan dirawat selama seminggu. Sejak itulah, mama
hanya bisa diam di tempat tidur atau di kursi merah. Hanya berbaring. Siapa
yang tidak frustasi jika harus terus berbaring sementara orang sekitarnya tetap
aktif bergerak?
Semakin
mama frustasi, semakin ia menjadi pemarah. Tugas menjaga perasaan mama seperti
tugas seorang tentara di medan perang. Tugas yang semula mudah mejadi lebih
sulit dan penuh tantangan. Mama memiliki sifat keras kepala yang luar biasa.
Perasaanya mudah goyah mengikuti angin bertiup. Ia bisa sangat bahagia di pagi
hari dan mendadak menjadi sangat pemarah di siang hari. Jika sudah begini,
semua bisa kena semprot amarah mama. Bahkan si kecil Sabrina yang biasanya
menjadi cucu kesayangan pun, bisa terkena dampaknya. Aku pun memilih untuk diam
dalam kamar. Dan, tugas papa-lah yang menenangkan mama agar bahagia kembali.
Aku
dan mama memiliki hubungan yang unik. Jika tidak bisa disebut aneh. Salah satu
persamaan sifat kami adalah cepat marah. Jika dalam permainan bola, mama adalah
penyerang dan aku yang bertahan. Mama memiliki kemampuan jitu untuk ‘menyerang’
siapapun yang membuat hatinya gundah.
Dari
kursi merahnya itu, ia bisa melontarkan amarahnya padaku. Hal sepele seperti
menaruh tas kerja di ruang tamu bisa menjadi sebuah permasalahan besar. Dan,
biasanya akan berakhir dengan keributan kecil. Aku bertahan dan mama terus
menyerang tanpa ampun. Sepertinya mama dikirim Tuhan untuk menguji kesabaran
anak-anaknya.
Aku
bukan tidak menyayangi mama. Tapi aku tidak tahan dengan omelannya. Kami pun
bukan sepasang musuh yang kerap kali berkelahi. Mama tidak pandai mengungkapkan
perasaanya selain dengan amarah. Sementara aku begitu ingin membela diri dari
luapan marah mama. Hingga lupa bagaimana memahami mama. Lupa bahwa mama hanya
rindu padaku.
Sekarang,
semua keributan kecil seperti tidak ada artinya. Tergantikan dengan perasaan
menyesal yang mendalam. Seandainya aku bisa lebih sabar dan tidak egois,
mungkin mama akan lebih bahagia saat itu.
Aku
memang berhenti bekerja karena terlalu sering bolos. Papa kelelahan mengurus
mama sendirian di rumah. Apalagi jika mama sudah marah dan bosan karena
berbaring terus. Keputusan yang tepat adalah berhenti bekerja. Walaupun pada
akhirnya keadaan keuanganku menjadi sedikit berantakan.
Setelah
mama pergi pada Sang Maha. Baru kali
inilaha ku benar-benar duduk di kursi merah ini. Disinilah mama menghabiskan
waktu seharian. Menelan bosan. Menunggu maut. Melupakan bahagia. Memutahkan
amarah.
Rumah
sudah mulai ramai oleh keluarga. Acara 40 harian mama akan segera dilaksanakan.
Aku masih duduk melamun di kursi merah mama. Banyak orang lalu lalang tanpa
menghiraukan kehadirannya. Mereka sibuk masing-masing. Tanpa sedikitpun
menghiraukan keberadaanku
Begitulah
perasaan mama saat hanya bisa terbaring di kursi ini? Sementara aku hanya
mondar mandir di depannya tanpa menyapanya? Tidak aneh jika mama marah. Ia
hanya rindu padanya dan ingin ditemani.
“De,
tamu sudah datang. Nggak mau masuk ke dalam? Pengajian buat mama udah mau
dimulai,” kata abangku.
Aku
mengelus kursi merah itu lagi. Benar kata abang, kursi ini seharusnya ada di
rumah ini, bukan di rumah lain bahkan bukan di ruangan lain. Kursi ini ada di
ruang keluarga. Begitulah memang seharusnya.
Biarkan
kursi ini tetap menyaksikan kehidupanku sekarang.
Untuk Mama Yusmiati Djs (1948 – 2013)
Wah... keren dimuat di Nova.
ReplyDeleteSemoga beliau mendaoatkan tempat yang terbaik disisiNYA... aamiin
Makasih mbak.
ReplyDeleteAamiin YRA